5 Saham dengan Pola Siklus Harga Unik: Peluang Cuan dari Pola yang Terulang
Pernah nggak sih kamu merasa kayak déjà vu waktu lihat grafik saham? Beberapa saham di Bursa Efek Indonesia ternyata punya siklus harga yang konsisten dan bisa ditebak. Meskipun nggak ada jaminan 100%, tapi pola ini bisa jadi referensi menarik buat strategi beli dan jual. Yuk, kita bahas 5 saham yang punya siklus harga khusus, lengkap dengan faktor penggeraknya dan apakah sekarang saat yang tepat buat masuk!
1. BRPT – Barito Pacific: Turun-Naik di Bawah dan Atas Rp1.000
BRPT, saham milik konglomerat Prayogo Pangestu ini sering banget terlihat bergerak naik-turun dalam rentang tertentu. Polanya terbilang konsisten sejak pandemi, di mana ketika harga turun di bawah Rp1.000, biasanya dalam waktu kurang dari setahun akan kembali ke atas Rp1.000. Ajaib, ya?
Contohnya, setelah crash pandemi pada 24 September 2020, harga BRPT ada di Rp649. Tiga bulan kemudian? Sudah naik ke kisaran Rp1.200. Lalu di Juli 2021 sempat turun ke Rp790, sebulan kemudian kembali ke Rp1.100. Dan per 17 Maret 2025, harganya kembali di Rp780. Pola ini enggak cuma kebetulan — karena sering kali dibarengi dengan aksi borong saham oleh Prayogo sendiri.
Di 2022, Prayogo bahkan sempat nambah kepemilikan BRPT dari 25% jadi 70%! Dan jangan lupa, BRPT itu holding dari TPI, perusahaan petrokimia yang sangat tergantung harga minyak. Kalau harga minyak turun, biaya operasional TPI turun, kinerjanya naik — dan BRPT pun ketiban rejeki.
Jadi, apakah sekarang saatnya beli lagi BRPT di kisaran Rp780, berharap kembali ke Rp1.200?
2. BSDE – Saham Properti yang Nggak Pernah Jauh dari Rp1.000
BSDE, anak usaha Sinar Mas Group di sektor properti, juga punya siklus harga yang cukup kentara pasca pandemi. Harga sahamnya bolak-balik di kisaran Rp800 hingga Rp1.300. Misalnya September 2020 sempat di Rp600, lalu enam bulan kemudian langsung lompat ke Rp1.300!
Perilaku harga ini juga didorong oleh aksi beli dari pemegang kendali, Paraga Artamida, yang sepanjang 2024 membeli 25 juta lembar saham. Ditambah lagi ada aksi korporasi akuisisi SMDM yang turut memberi sentimen positif.
Tapi, menurut konsensus analis, pendapatan BSDE di 2025 diperkirakan turun 6%, dan laba bersih turun 3%. Sekarang, harga BSDE di kisaran Rp900. Kalau penurunan kinerja itu benar terjadi, apakah ini artinya harga bisa terkoreksi lebih dalam?
3. KKGI – Saham Batu Bara yang Menari Ikuti Harga Komoditas
Berbeda dari dua saham sebelumnya, KKGI (PT Resource Alam Indonesia Tbk) punya pola musiman yang berulang sejak booming harga batu bara di 2022. Harga sahamnya biasanya turun di kuartal awal, lalu naik lagi sekitar kuartal ketiga.
Contohnya, Maret 2023 harganya di Rp340, dan naik ke Rp590 di Oktober. Siklus ini terulang di 2024: April harga menyentuh Rp320, dan naik ke Rp716 di September. Maret 2025? Turun lagi ke Rp410. Ini bukan sekadar kebetulan, karena transaksi pemegang saham besar seperti Sinar Nusantara, LX International, dan Energy Color turut memperkuat pola tersebut.
Menariknya, kinerja keuangan KKGI malah lebih positif dibanding emiten batu bara lain. Pendapatan naik 8% menjadi USD 257 juta, laba bersih naik 37%! Penyebabnya? Kenaikan penjualan domestik, pendapatan sewa, dan kontribusi pembangkit listrik. Tapi hati-hati, karena tambang KKGI masih dalam kontrak P2PKB, yang bisa terdampak royalti 1% kalau diterapkan. Bisa jadi ancaman buat laba di 2025.
4. ESSA – Si Amoniak dan LPG yang Berpola Tapi Fluktuatif
ESSA, emiten yang bergerak di produksi amoniak dan LPG, punya pola harga yang nggak kalah menarik. Tapi, siklusnya bisa lebih lama. Sejak booming komoditas 2022, ESSA sempat menyentuh Rp1.500 di April, lalu jeblok ke Rp500 dalam tiga bulan. Tapi setelah itu? September 2022, balik lagi ke Rp1.200.
Dan tren ini terus berulang. Maret 2023 sempat di Rp1.100, lalu turun ke Rp480 di Juni, dan naik ke Rp1.000 di Oktober 2024. Per Maret 2025, harga kembali turun ke Rp580.
Siapa penggeraknya? Ya, dua nama besar: Boy Tohir dan TP Rahmat. Mereka rajin jual beli saham ESSA. Misalnya, TP Rahmat borong 1,4 miliar lembar sepanjang 2024, lalu jual sedikit di Oktober. Begitu juga Boy Tohir yang borong di waktu bersamaan, tapi belum ada catatan jualnya.
Kinerja ESSA sendiri fluktuatif karena sering ada maintenance fasilitas produksi. Kuartal 4 2025 nanti juga bakal ada jadwal maintenance, artinya hasil laporan tahunan bisa jadi lebih lesu.
5. SRTG – Saratoga: Ikuti Arus Nilai Portofolio
Saratoga (SRTG) sedikit beda dari keempat saham sebelumnya. Pergerakan sahamnya sangat dipengaruhi oleh kinerja portofolio investasinya. Kalau saham-saham seperti ADRO, MDKA, dan TBIG naik, laba Saratoga ikut naik — dan begitu juga sebaliknya.
Di 2023, saat kinerja portofolio buruk, harga SRTG sempat terjun ke Rp1.200. Tapi ketika ada pemulihan dan disrupsi korporasi ADRO, saham SRTG melesat ke Rp2.900! Tapi awal 2025 ini, harga portofolio mereka lagi berdarah-darah. Jadi, ekspektasi untuk 2025 mungkin agak koreksi. Tapi ingat, kalau PBV-nya menyentuh di bawah 0,4 kali, mungkin itu jadi harga masuk yang menarik.
Kesimpulan: Bukan Ramalan, Tapi Pola Historis yang Menarik
Melihat pola harga lima saham di atas, satu hal yang jelas: pasar kadang seperti mesin waktu yang berulang-ulang. Memahami pola ini bisa membuka peluang beli di harga murah dan jual di harga tinggi — selama kamu juga memperhatikan fundamentalnya.
Tapi hati-hati, ini bukan jaminan. Semua bisa berubah sewaktu-waktu, apalagi kalau ada kejadian luar biasa atau regulasi baru. Yang penting, gunakan pola ini sebagai referensi, bukan satu-satunya pegangan. Karena di dunia saham, yang pasti itu cuma satu: ketidakpastian itu sendiri.
Jadi, dari lima saham ini, mana yang paling menarik buat kamu masukin ke radar?