Tarif Resiprokal: Ketegangan Perdagangan AS dan China Semakin Memanas
Dalam langkah terbaru yang bikin geger, Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan pada 2 April 2025, tentang penetapan tarif balasan atau resiprokal untuk semua impor ke AS. Besarannya? Mulai dari 10% minimum. Selain itu, Trump juga mengenakan tarif lebih tinggi kepada 57 negara lain yang selama ini menyumbang defisit perdagangan AS. Tarif balasan ini rencananya efektif mulai 5 April 2025, dengan tarif yang lebih tinggi berlaku tanggal 9 April 2025.
Kebijakan Tarif Baru yang Menghentak
Tarif balasan ini bukan sekadar tambahan untuk tarif yang sudah ada, loh! Contohnya, pada 9 April nanti, tarif bagi China bisa mencapai 54%, yang berasal dari 34% tarif balasan baru dan tarif existing sebesar 20%. Nah, menariknya, Trump memutuskan untuk mengecualikan Meksiko dan Kanada dari kebijakan ini.
Tak hanya itu, beberapa komoditas tertentu juga dibebaskan dari tarif ini, termasuk semikonduktor, tembaga, barang medis, dan farmasi. Semua ini menunjukkan betapa seriusnya dampak kebijakan ini.
Reaksi China dan Respon Balas yang Menggelegar
Hanya dua hari setelah pengumuman Trump, China tampak tak mau kalah. Mereka langsung merespons dengan mengenakan tarif 34% terhadap semua produk dari AS, yang akan mulai berlaku pada 10 April 2025. Lebih jauh lagi, China juga akan membatasi ekspor logam tanah jarang ke AS. Lalu, muncul lagi ancaman dari Trump, yang berkata bahwa AS akan mengenakan tambahan tarif 50% jika China tidak membatalkan tarif balasan tersebut.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan China bersikeras bahwa mereka akan โberjuang hingga akhirโ untuk melindungi kepentingan negaranya. Situasi ini menciptakan ketegangan baru di panggung dunia.
Uni Eropa Ikut Terlibat dalam Permainan Tarif
Nggak mau ketinggalan, Uni Eropa juga mengeluarkan proposal untuk mengenakan tarif balasan sebesar 25% terhadap beberapa produk dari AS pada 16 Mei 2025. Ini adalah balasan terhadap tarif yang telah dikenakan AS terhadap impor baja dan alumunium dari Eropa sejak 12 Maret 2025. Jika konflik ini terus berlanjut, dampaknya bisa meluas ke hubungan perdagangan global.
Indonesia: Diplomasi di Tengah Perang Dagang
Dari dalam negeri, pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan mengambil langkah retaliasi, melainkan memilih jalur diplomasi untuk mencari solusi. Minggu depan, Indonesia akan mengirimkan tim yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk bernegosiasi tentang tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah AS. Mengingat bahwa AS adalah negara tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai 26,3 miliar selama 2024, langkah ini sangat penting.
Komoditas Utama: Apa yang Diimpor AS dari Indonesia?
Secara keseluruhan, berikut adalah Top 5 komoditas yang diekspor Indonesia ke AS pada tahun 2024:
- Mesin dan perlengkapan listrik (kabel dan modem)
- Pakaian dan aksesorisnya (rajutan dan bukan rajutan)
- Alas kaki
- Minyak hewani/nabati (produk sawit)
- Karet dan produk karet (seperti ban)
Dampak di Pasar: Apa yang Terjadi pada IHSG?
Sementara itu, pada tanggal 8 April, IHSG tercatat melemah sekitar -7,9%, dan yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun naik 75 bps ke level 7,08%. Hasilnya, kurs rupiah pun melemah 1,9% ke level 16.865, menandai level terendahnya sepanjang sejarah. Demikian juga, indeks S&P 500 anjlok -10,7%, disusul Nasdaq dan EIDO dengan penurunan yang signifikan.
Kesimpulan: Perang Dagang yang Tak Berujung
Secara umum, perang dagang ini berpotensi membawa dampak negatif bagi ekspor Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun ada peluang bagi Indonesia untuk memperoleh pangsa pasar dari negara-negara yang dihadapkan tarif lebih tinggi, hal ini tetap bergantung pada negosiasi yang dilakukan masing-masing negara dengan AS. Oleh karena itu, kita semua harus terus memantau perkembangan ini.
Kami menyarankan para investor untuk menghindari panic sell dan stay invested, terutama jika mereka yakin bahwa saham yang mereka miliki memiliki fundamental yang baik. Ingat, sejarah menunjukkan bahwa market dapat pulih dari krisis, seperti yang terjadi pada tahun 2008 dan 2020. Selain itu, diversifikasi portofolio di berbagai kelas aset juga dapat membantu meminimalkan dampak volatilitas pasar. Pertimbangkan untuk berinvestasi di obligasi pemerintah jangka pendek atau reksa dana pasar uang untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi.